Kelurahan Muktisari
Sebagai Proyek Percontohan Kelurahan Layak Anakan berdasarkan Keputusan
Walikota Banjar Nomor 441.8/Kpts.95-BKBPP/2014 tentang Penunjukan Kelurahan
Muktisari Sebagai Proyek Percontohan Kelurahan Layak Anak di Kota Banjar Tahun
2104.
Berdasarkan Surat
keputusan tersebut Kelurahan Muktisari mengadakan sosialisai dan Pembentukan
Kepengurusan melalui Rapat Pembentukan Layak Anak melalui Bidang Pemberdayaan
Perempuan BKBPP Kota Banjar.
Sebagi bahan pengetahuan
tambahan mengenai adanya kelurahan layak anak dilatar belakangi bahwa Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 5 September 1990. Hal ini merupakan
komitmen Indonesia dalam menghormati dan memenuhi hak anak. Komitmen ini
tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B (2), dan operasionalnya pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk
mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah
mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak.
Indonesia had ratification Convention on the Rights of the Child since
5th September 1990. It constitutes Indonesia commitment in respect and
pock right for child. This commitment most decants in Constitution 1945
Sections 28 b (2 ), and its operational on Number law 23 Years 2002
about protection Child. To transform right for child into process development,
government develops policy `City Fit for Children’. Kunci: Anak, Kota,
Perlindungan Anak, Kota Ramah Anak.
Kota Layak Anak[1] merupakan
istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk
mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi
Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam Kebijakan
tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota
untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke
dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan,
institusi, dan program yang layak anak.
Kota Layak Anak[2] dan
atau Kota Ramah Anak[3] kadang-kadang
kedua istilah ini dipakai dalam arti yang sama oleh beberapa ahli dan pejabat
dalam menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak ke dalam
pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan
anak.
Pemekaran Daerah
Pemekaran kabupaten dan kota merupakan buah dari otonomi daerah. Gejala ini
sudah terasa sejak berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 2001. Tercatat
sampai Agustus 2008 terdapat 471 kabupaten dan kota + 12 dalam proses
pemekaran. Tujuan akhir dari pemekaran ini adalah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan,
dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makna
dari tujuan akhir ini tersirat bahwa ‘perlindungan anak’ menjadi salah satu
urusan wajib[4] yang
diserahkan oleh pemerintah ke pemerintah kabupaten dan kota akan semakin
terwujud.
Namun yang menjadi pertanyaan apakah ‘anak’ menjadi pusat pembangunan di
kabupaten dan kota? Karena selama ini pemerintahan kabupaten dan kota lebih
memusatkan pada bidang ekonomi, politik dan infrastruktur, tanpa
mempertimbangkan unsur kepentingan terbaik anak dalam pengambilan keputusan.
Hal ini ditandai oleh belum berkembangnya wadah-wadah partisipasi anak yang
dibangun di kabupaten dan kota guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan
harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan. Padahal
pembentukan wadah tersebut sudah menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2004-2009. Meskipun di beberapa kabupaten
dan kota sudah ada Forum Anak, akan tetapi forum tersebut masih banyak
intervensi orang dewasa.
Tantangan Pembentukan Kota Layak Anak
Delapan belas tahun yang lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menjamin
setiap anak diberikan masa depan yang lebih baik dengan ratifikasi Konvensi Hak
Anak.[5] Sejak
itu tercapailah kemajuan besar, sebagaimana tercantum dalam laporan Pemerintah
Indonesia mengenai Pelaksanaan Konvensi Hak Anak ke Komite Hak Anak, Jenewa,[6] lebih
banyak anak bersekolah dibandingkan di masa sebelumnya, lebih banyak anak mulai
terlibat aktif dalam keputusan menyangkut kehidupan mereka, dan sudah tersusun
pula peraturan perundang-undangan penting yang melindungi anak.[7] Kondisi
ini menjadi point penting dalam mempercepat pembentukan KLA.
Namun hasil yang dicapai ini tidak merata, dan berbagai kendala pun masih
tetap ada, terutama di beberapa kabupaten dan kota yang tertinggal. Masa depan
cerah bagi anak barulah merupakan ‘khayalan’ semata, dan pencapaian itu pada
umumnya kurang memenuhi kewajiban pemerintah dan komitmen negara.
Keluarga sebagai unit dasar dari masyarakat yang menjadi penentu
keberhasilan dalam mempercepat terwujudnya komitmen negara belum mendapat
bantuan dan bimbingan secara teratur, terorganisasi, dan terjadwal. Tanggung
jawab utama untuk melindungi, mendidik dan mengembangkan anak terletak pada
keluarga. Akan tetapi segenap lembaga pemerintah dan masyarakat belum banyak
membantu. Seharusnya lembaga tersebut menghormati hak anak dan menjamin
kesejahteraan anak serta memberikan bantuan dan bimbingan yang layak bagi
orangtua, keluarga, wali, dan pihak-pihak yang mengasuh anak supaya dapat
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan stabil serta suasana yang
bahagia, penuh kasih dan pengertian. Selain itu, ada pemahaman yang
berbeda-beda di kalangan orangtu mengenai arti anak. Pada sebagian orangtua
memahami anak sebagai ‘amanah’ dan ‘titipan’ yang harus dilindungi dan
dihargai. Sedangkan pada sebagian orangtua ‘anak’ sebagai ‘aset keluarga’ dan
‘anak harus mengerti orangtua[8]’.
Pemahaman yang terakhir ini kadang-kadang anak menjadi korban perdagangan anak,
eksploitasi ekonomi dan seksual, serta tumbuh dan berkembangnya terabaikan.
Sejumlah besar anak-anak hidup tanpa bantuan orangtua, misalnya anak yatim
piatu, anak jalanan, anak pengungsi, dan anak yang tergusur dari tempat
tinggalnya, anak korban perdagangan, anak korban eksploitasi ekonomi dan
seksual, serta mereka yang berada di lembaga pemasyarakatan, belum mendapat
perhatian dan perlindungan secara khusus. Hal yang sama juga dialami oleh
lembaga sosial yang memberikan pelayanan kepada anak-anak tersebut kurang
mendapat pembinaan dan apresiasi dari pemerintah dan masyarakat.
Persoalan lain yang cukup dasar adalah kemiskinan yang menjadi satu-satunya
kendala terbesar yang merintangi upaya memenuhi kebutuhan, melindungi dan
menghormati hak anak. Seharusnya hal ini mendapat perhatian dan sokongan dari
pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, upaya untuk mengatasi persoalan ini di
berbagai kabupaten dan kota belum terencana dengan baik dari penciptaan
lapangan kerja, ketersediaan mikro-kredit sampai investasi di bidang
infrastruktur. Anak-anak adalah warga yang paling terpukul oleh kemiskinan,
karena kemiskinan itu sangat mendera mereka untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut Prof. Irwanto, PhD bahwa “Salah satu paradoks pembangunan manusia
modern adalah diakuinya anak-anak sebagai masa depan kemanusiaan, tetapi
sekaligus sebagai kelompok penduduk yang paling rentan karena sering diabaikan
dan dikorbankan dalam proses pembangunan itu sendiri. Ketika ekonomi membaik
dan pembangunan di segala bidang bergairah, kepentingan anak tidak menjadi
prioritas. Akan tetapi, manakala ekonomi memburuk, konflik
berkecamuk, kekacauan sosial berkembang di mana-mana, anak menjadi korban atau
dijadikan tumbal untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa”.
Dari sekian persoalan di atas yang unik adalah otonomi daerah. Sejak urusan
wajib di bidang kesehatan, pendidikan, termasuk ‘perlindungan anak’ dan lainnya
diserahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten dan kota, sangat
berdampak pada pemenuhan hak anak. Muncul berbagai persoalan, seperti
meningkatnya kasus gizi buruk, turunnya angka kelulusan baik di SD dan SMP
maupun SMA/sederajat di beberapa kabupaten dan kota.
Namun dari sederetan persoalan yang mendera anak, secara nyata yang perlu
dipahami oleh kita adalah penerimaan terhadap berbagai komitmen internasional
yang disepakati oleh Negara untuk kemajuan anak Indonesia. Sebut saja Deklarasi
Dunia dan Rencana Aksi dari World Summit for Children, The Dakar Framework:
Education For All dari World Education Forum, Deklarasi Millennium Development
Goals, Deklarasi dan Rencana Aksi World Fit for Children, dan yang terakhir
Deklarasi dan Rencana Pembangunan Berkelanjutan dari World Summit on
Sustainable Development. Semua kesepakatan itu tersimpan rapi di lemari dan
laci para Delegasi Indonesia yang sesungguhnya mereka itu juga mempunyai
keterbatasan dari segi keilmuan, penguasaan isu anak sampai komunikasi.
Dokumen-dokumen tersebut belum tersosialisasi kepada pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat, keluarga, orangtua, dan anak. Sehingga hal ini melahirkan
kesenjangan informasi di antara pihak yang terkait dengan komitmen
internasional dengan perencana dan penyusun program di lapangan, karena semua
kesepakatan internasional tersebut belum menjadi rujukan dalam perencanaan dan
kebijakan program pembangunan. Hal ini wajar saja, jika kita menemukan
pemahaman yang berbeda-beda di kalangan orangtua, keluarga, masyarakat, dan
pemerintah kabupaten atau kota untuk “memenuhi hak anak” sesuai dengan Konvensi
dan komitmen Negara. Karena mereka pada dasarnya belum mengetahui dan memahami
apa yang sesungguhnya telah menjadi komitmen Negara di tingkat dunia.
Media masa belum mengambil peran secara proporsional. Isu-isu anak selalu
kalah dalam berebut ‘kapling’ atau ruang di media masa, cetak maupun
elektronik, dan seslau kalah bersaing dengan isu-isu politik yang mendominasi
pemeberitaan di media. Konsekuensi logisnya adalah bahwa opini dan pemahaman
publik terhadap isu-isu anak tertinggal sangat jauh dari yang semestinya. Bila
ditemui media yang mengangkat isu anak dalam segmen acara ataupun porsi
pemberitaannya kesan yang timbul justru potensi pelecehan terhadap hak anak.
Karena menempatkan anak sebagai obyek program sehingga sangat banyak
ditemui pemberitaan dan program dalam media masa yang justru menjauhkan
anak-anak dari originalitas budayanya dan bahkanmembuat anak-anak Indonesia
terkontaminasi oleh budaya asing.
Dari uraian di atas, tergambar bahwa ada tantangan besar untuk mempercepat
implementasi hak anak di tingkat orangtua, masyarakat, kabupaten/kota,
provinsi, dan nasional pada masa kini dan masa datang. Padahal masalah bukan
hanya anak, namun, jika kita tidak segera berinisatif, dikhawatirkan
kepentingan terbaik bagi anak terabaikan. Artinya, hak tumbuh dan berkembang
mereka kurang optimal, yang akan berujung pada hilangnya satu generasi bangsa.
Kota dan Anak
Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para arsitek, perencana kota,
perancang, psikolog, sosiolog, dan kriminolog yang berkaitan dengan anak dan
kota, baik sebagai warga kota maupun pengguna ruang kota.[9]Penelitian
tersebut dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain kepentingan pemenuhan
tugas akhir sebagai mahasiswa, dan kepentingan organsiasi atau lembaga dalam
rangka proyek dan atau pembangunan kota. Bila ditelusuri, penelitian tentang
anak dan kota telah berlangsung sejak tahun 1970-an sampai sekarang.
Penelitian yang sangat berpengaruh pada implementasi Konvensi Hak Anak dan
kemudian diadopsi oleh UNICEF dan UNHABITAT melalui “Child Friendly City
Inniciative”[10] adalah
penelitian yang dilakukan oleh Kevin Lynch, arsitek dari Massachusetts
Institute of Technology. Penelitian dengan judul ”Persepsi anak terhadap
ruang”[11] dilaksanakan
di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City, dengan menggunakan
metode pengamatan, wawancara dan menggambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai: komuniti yang
kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan
tegas; adanya pemberian kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang
memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia
mereka.
Dari sejumlah penelitian tersebut, yang sangat menarik bahwa anak, seperti
halnya orang dewasa, dapat diajak kerjasama dan mengatasi persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan lingkungan kota (Adams & Ingham, 1998:51).
Pemerintah dapat berkonsultasi dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi,
pandangan dan pengalaman mengenai lingkungan kota tempat mereka tinggal. Dari
mereka, pemerintah dan para pemangku kepentingan di bidang anak dapat menemukan
kebutuhan atau aspirasi mereka untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak
dan komitmen Negara lainnya di bidang anak.
Anak dapat membantu pemerintah dalam mendapatkan data mengenai lingkungan
tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, tempat bermain,
pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatan. Anak akan memperoleh pengalaman
yang tak ternilai dari pelibatan mereka. Melalui kegiatan pelibatan ini anak
menjadi berfikir mengenai persoalan lingkungannya, dan dapat mengidentifikasi
persoalan yang ada untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama. Mereka juga dapat
memberikan kontribusi dalam proses perencanaan dan pengembangan kota yang
mereka harapkan (Adams & Ingham, Ibid).
Berikut ini beberapa harapan dan kebutuhan anak yang mereka sampaikan
terekam secara apik dalam laporan penelitian Hamid Patilima dengan judul
“Persepsi Anak mengenai Lingkungan Kota: Studi Kasus Kelurahan Kwitang, Jakarta
Pusat”.
Anak dan Lingkungan Tempat Tinggal
Untuk menjadi akrab dengan lingkungan tempat tinggal anak perlu
dipertimbangkan bahwa:
a. keluarga
perlu mempertimbangkan penerapan kombinasi pola asuh antara otoriter, bebas dan
demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya kepercayaan diri anak tinggi.
b. rumah
yang layak huni adalah rumah yang menjamin keamanan, ketenangan dan kenyaman
penghuni. Syarat rumah layak huni adalah status kepemilikan jelas (milik
sendiri, sewa, menumpang), kemudahan akses ke air, listrik, adanya pengelolaan
sampah dan perawatan saluran pembuangan air kotor. Selanjutnya, rumah itu
berada di lingkungan yang bebas polusi.
Untuk mewujudkan kebutuhan anak tersebut, menurut Sheridan Bartlett, ahli
perkotaan dari City University Of New York dan The International
Institute For Environment And Development, London (Bartlett, 2002), perlu
adanya intervensi pencegahan terjadinya bahaya terhadap anak di tempat tinggal
mereka, yaitu dengan melakukan modifikasi dan perbaikan di lingkungan tempat
tinggal. Modifikasi atau perbaikan tersebut antara lain: menggunakan penerangan
listrik daripada lilin atau minyak tanah yang mempunyai resiko besar terhadap
terjadinya kebakaran; mengumpulkan sampah agar tidak menumpuk sehingga
bibit-bibit penyakit tidak berkembang biak; mendesain kompor dan dapur yang
aman, agar terhindar dari asap dan kebakaran; dan memperbaiki konstruksi pagar,
tembok dan lain-lain. Upaya perbaikan lain menurut Bartlett, perlu
didukung oleh suatu program kampanye penyadaran[12] tentang
pentingnya perlindungan keselamatan anak kepada orang-tua dan orang dewasa. Selain
itu dapat dilakukan pula pelatihan terhadap orang-tua, polisi dan petugas
lapangan tentang perlindungan dan hak anak.
Anak dan Lingkungan Masyarakat
Pada lingkungan masyarakat, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri
dengan lingkungan masyarakat, untuk itu perlu dipertimbangkan bahwa:
a. perlu
ada inisiatif dan kemauan keras ketua RT dan RW untuk menjalankan organisasi
dengan membentuk kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung pada warga,
khususnya anak-anak, seperti kerja bakti (membersihkan sampah dan saluran
pembuangan air kotor), dan siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan tersebut,
warga kota, menurut Prof. Parsudi Suparlan (Suparlan, 1996:3-44) menjadi
bercirikan individualisme tinggi. Warga kota dengan ciri ini sangat sukar untuk
diajak bekerjasama.
b. menjaga
sanitasi lingkungan, karena berdampak langsung pada kesehatan lingkungan,
terutama terhadap anak-anak yang rentan terhadap berbagai resiko yang
ditimbulkan oleh lingkungan.
Untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat yang baik untuk anak
tumbuh dan kembang, pemerintah kota perlu melakukan perbaikan-perbaikan.
Menurut Bartlett, anak-anak memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka di
lingkungannya. Anak-anak merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting
yang perlu mendapat perhatian dari orang dewasa, assosiasi masyarakat dan
pemerintah kota. Untuk memperbaiki masyarakat mereka. Perlu ada perbaikan,
perawatan dan pembaharuan terhadap saluran air, toilet yang tidak bau, bebas
bau sampah; tempat bermain dan rekreasi yang aman dan lengkap dengan
menerangan, bersama anak menentukan lokasi yang sesuai untuk tempat bermain
yang dekat dengan rumah dan sekolah; dan perlu melakukan pengamanan yang ekstra
di lingkungan yang berpendapatan rendah, dan memasang pengumuman tentang
pemberian perlindungan terhadap anak dari kekerasan dan penelantaran terhadap
anak.
Anak dan Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah yang diharapkan anak adalah sebagai berikut:
a. mempunyai
ruang WC yang menjadi salah satu fasilitas yang penting di sekolah, sehingga
perlu dipertimbangkan keberadaan dan kebutuhannya. Anak-anak keberatan jika
ruang WC anak perempuan dan anak laki-laki disatukan. Dengan demikian akan
melindungi anak-anak perempuan dari pelecehan seksual.
b. desain
bangunan sekolah bertingkat perlu dilengkapi ruang bermain yang memungkinkan
anak-anak dari setiap lantai saling bertemu dan bersosiliasai.
c. waktu
sekolah pagi dan petang dipertimbangkan untuk diterapkan secara bergantian,
karena sangat berpengaruh pada proses belajar mengajar dan kualitas murid.
Sebagian besar murid-murid sekolah petang kurang optimal mengikuti pelajaran,
karena energi yang berkurang dan udara panas mempengaruhi daya serap anak
terhadap pelajaran.
d. metode
belajar mengajar tidak hanya metode klasikal, sehingga anak-anak terlatih untuk
mendiskusikan suatu persoalan. Metode CBSA atau metode lain yang memberi
kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan agar anak-anak terlatih
mengemukakan pendapat atau gagasan-gagasannya.
e. pada
penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan guru perlu
mengikutsertakan murid-murid, sehingga memiliki legitimasi yang kuat saat
diterapkan dan ditegakkan. Kegiatan ini melatih anak-anak mengenai kehidupan
berdemokrasi yang saling mendengar, dan menghargai pendapat orang lain. Anak
memiliki potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang menyangkut kehidupan
sendiri; contoh, melalui bermain mereka menyusun peraturan yang disepakati dan
dijalankan bersama, dan jika ada yang melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh
lain adalah pembagian tugas piket kebersihan yang mereka susun bersama ketua
kelas, dijalankan secara bersama-sama.
makan di sekolah perlu dipertimbangkan
menjadi suatu program sekolah,[13] karena
banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan ini, selain mengembalikan
energi anak yang terpakai selama belajar, juga dapat meningkatkan gizi anak,
yang mungkin di rumah kurang memperoleh asupan makan yang bergizi. Selain itu
menjadi ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman sekelas atau
lain kelas.
Anak dan Lingkungan Bermain
Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan
tempat bermain dengan mengikuti cara anak, dan bersedia bekerjasama dengan
mereka untuk menata ruang yang ada. Menurut Hendricks (Hendricks: 2002:14)
perencanaan taman bermain yang ramah terhadap anak harus mempertimbangkan hasil
konsultasi dengan anak, seperti bagaimana mereka menggunakan ruang dan apa yang
mereka ingin lakukan, sehingga dalam proses pengembangannya tidak perlu melakukan
pengekangan terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus dilakukan dengan
baik seperti yang dilakukan terhadap orang dewasa. Di beberapa negara seperti
Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh konsultasi yang dilakukan
dengan anak mengenai tempat bermain (Hendricks: 2002:14).
Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika
melakukan diskusi dengan anak mengenai pembangunan taman bermain adalah masalah
keselamatan anak.
Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak:
a. dibutuhkan
tindakan pencegahan dan tenaga profesional yang berpengalaman untuk menjamin
bahwa ruangan terbebas dari hal-hal berbahaya yang bisa menyebabkan anak-anak
mendapatkan luka serius;
b. orang
dewasa, khususnya orang-tua anak dan pengawas tempat bermain diduga juga
berpotensi untuk membahayakan keselamatan anak dan membuat anak takut.
Persoalan ini menyangkut kasus kekerasan terhadap anak.
Selain itu, perencana dan perancang perlu mempertimbangkan pengamanan dan
pengawasan terhadap anak. Menurut Sheridan Bartlett, dengan
mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap tempat bermain anak,
sehingga memungkinkan mereka merasa tenang dan nyaman. Pemerintah kota perlu
mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan di tempat bermain; meningkatkan
keselamatan anak di tempat bermain; dan termasuk melakukan kampanye terhadap
larangan penggunaan bahan berbahaya pada alat-alat permainan.
Anak dan Pelayanan Transportasi
Pemerintah kota agar menyediakan layanan transportasi yang mempertimbangkan
kebutuhan anak. Untuk mewujudkan transportasi seperti itu, pemerintah dapat
mengkaji dan mempelajari sistem transportasi di Singapura yang memberikan
pelayanan kepada beragam keadaan penduduknya, atau mengkaji sistem transportasi
di Curitiba, Brazil. Menurut Robert Cervero (Cervero, 1998:292) meskipun
Pemerintah Kota Curitiba menghadapi kesulitan ketika membangun sistem pelayanan
transportasi berkelas dunia, tetapi mereka sanggup mewujudkannya dengan perencanaan
yang hati-hati, dengan keputusan yang tepat, dengan semangat kepemimpinan.
Sistem transportasi Curitiba dibangun dengan menggabungkan semua jaringan mulai
dari jaringan rumah, jaringan jalan, pusat perdagangan, perkantoran, tempat
bersejarah dan ruang publik. Selain itu, dibangun jaringan yang menghubungkan
jaringan busway dengan jaringan transit di tempat yang kurang padat penduduk,
secara efisien. Dengan mengkaji dan mengadopsi dua contoh sistem transportasi
serta berkonsultasi dengan warga kota termasuk anak mengenai kebutuhan
transportasi, dapat dibayangkan kabupaten/kota di Indonesia akan memiliki
sistem transportasi yang layak bagi anak.
Selain itu pemerintah
kota dalam membuat kebijakan mengenai transportasi umum, menurut Jill
Swart Kruger dan Louise Chawla (Kruger, 2002:85) perlu:
a. memperkenalkan
jarak, jenis dan ukuran transportasi umum.
b. mempertimbangkan
pembuatan tiket tunggal untuk semua jenis transportasi umum.
c. mempertimbangkan
penggunaan bus khusus pada hari minggu dan libur untuk anak dan keluarganya ke
tempat rekreasi.
Selain itu, perlu
dipetimbangkan untuk mengalang komuniti sekolah untuk membangun ‘Rute Aman ke
Sekolah’. Gagasan ini sebetulnya sudah mulai berkembang di beberapa kabupaten
dan kota di Indonesia melalui Program Zona Aman Sekolah oleh Departemen
Perhubungan, namun sangat disayangkan program ini tidak dikonsultasikan dengan
anak, sehingga program ini belum mendapat tanggapan yang serius dari orangtua
dan masyarakat, dan terkesan program tersebut dipaksakan.
Anak dan Pelayanan
Kesehatan
Informasi mengenai
kesehatan anak merupakan hal-hal yang perlu diketahui oleh seorang anak, supaya
mereka mengetahui sumber penyakit, jenis penyakit dan upaya pencegahannya.
Kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya. Karena
itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat bagi anak.
Kenyataan, tak jarang tempat-tempat itu tidak aman bahkan menjadi penyebab
timbulnya penyakit bagi anak. Menurut WHO, sebagian besar penyakit anak-anak
berhubungan erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal (rumah), belajar
(sekolah) dan bermain (masyarakat) (WHO, 2002:7). Resiko utama ditimbulkan oleh
lingkungan seperti air yang kurang bersih, sanitasi buruk, polusi udara, dan
higiene makanan yang buruk. Resiko lainnya ditimbulkan oleh serangga yang
menjadi perantara bibit penyakit; sedangkan tanah dan air merupakan perantara
infeksi cacing. Bahaya lain adalah kecelakaan dan kekerasan. Selain itu,
permukiman yang padat, ventilasi yang buruk, dan kurang air bersih untuk
mencuci, mempercepat penyebaran berbagai penyakit (UNICEF & UNEP, 1990:25).
Bagi masyarakat perkotaan, resiko juga ditimbulkan dari kekurang hati-hatian
dalam menggunakan bahan kimia yang berbahaya, pembuangan sampah toxic dan
degradasi lingkungan. Pemakaian zat kimia yang tidak aman untuk produk rumah
tangga dan alat permainan anak seperti boneka, bisa pula menjadi sebuah
ancaman.
Upaya kesehatan yang
dapat dilakukan untuk mengurangi resiko lingkungan terhadap kesehatan anak dan
warga kota lainnya menurut Jorge E. Hardoy, dkk. penulis buku “Environmental
Problems in an Urbanizing World: Finding Solution for Cities in Africa, Asia,
dan Latin America,” adalah pencegahan penyakit yang disebabkan oleh resiko
lingkungan. Tindakannya dapat dilakukan di dua tingkatan yakni rumah tangga dan
masyarakat. Tingkat rumah tangga yang dapat dilakukan dengan:
a. menyediakan
air bersih.
b. tempat
penampungan/tanki air selalu dibersihkan untuk menjaga higiene.
c. menyediakan
fasilitas WC yang bersih.
d. mengatur
pembuangan sampah dan air buangan.
e. melakukan
kampanye dengan menyebarkan poster atau leaflet tentang desain kompor dan
dapur.
Sedangkan tindakan di
masyarakat hampir sama dengan tindakan di rumah tangga, tetapi sifatnya lebih
ditingkatkan pada pengawasan dan penyediaan fasilitas yang tidak tersedia di
tingkat rumah tangga seperti sumur umum dan MCK.
Upaya lain yang dapat
dilakukan pemerintah, menurut Dr. David Satterthwaite, dari International
Institute for Environment and Development, London (Satterthwaite, 2002:1-2)
adalah, memberikan pengawasan, perlindungan terhadap anak dan melakukan
tindakan pada sektor air, sanitasi, saluran air, sekolah, perumahan, taman,
transportasi umum, manajemen sampah, serta mempertimbangkan tanggung jawab
terhadap anak:
a. institusi
bertanggung jawab terhadap peraturan tentang polusi yang bisa merusak
perkembangan otak dan tubuh anak.
b. pemerintah
bertanggungjawab terhadap keadaan jalan yang bisa menimbulkan kecelakaan dan
luka.
c. peraturan
mengenai air dan sanitasi yang dapat menjadi sumber penyakit diare dan infeksi
cacing.
d. polisi
mengatur taman dan tempat umum lain yang banyak dikunjungi anak.
Catatan lain yang perlu
juga direnungkan apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, bahwa anak (Save
the Children, 1996:13-15):
a. mempunyai
hak untuk tempat tinggal – pasal 27 menegaskan hak setiap anak atas
kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual, dan moral. Untuk itu
orang tua bertanggung jawab mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan
untuk mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan. Kondisi seperti ini sangat
berbeda yang dialami oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan
terputus dengan orang tua.
b. mempunyai
hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi – tempat tinggal padat dan
tumpang tindih di kota menjadikan anak merasa terganggu keleluasaan pribadinya.
Kondisi seperti ini banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga
miskin di kota, sehingga dampaknya adalah perasaan tertekan dan ketegangan pada
diri anak. Keadaan ini dapat kurangi bila orang tua peduli terhadap
keluarganya. Perumahan padat dapat menjadi salah satu faktor dalam perlakuan
buruk terhadap anak atau kekejaman dan perlakuan salah secara seksual.
c. mempunyai
hak untuk mendapatkan rasa aman – keamanan fisik dan psikososial merupakan
hal penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan hukum, meluasnya
kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak dan remaja.
d. mempunyai
hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat – sanitasi buruk, kurangnya
air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya sampah memberi dampak
yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti ini menghadapi
masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka muda terjangkit
penyakit cacar, diare, ispa, tbc, dan penyakit lain yang sering dialami oleh
warga yang tinggal di wilayah kumuh.
e. mempunyai
hak untuk bermain – ini artinya tersedia areal hijau dan ruang terbuka
untuk bermain. Lokasi tempat bermain dengan rumah khususnya untuk anak kecil
dan anak dengan kecacatan.
f. mempunyai
hak untuk mendapatkan pendidikan – setiap anak mempunyai hak dan
kesempatan yang sama memperoleh pendidikan, sehingga perlu mendapat perhatian
pemerintah kota kepada anak-anak yang tinggal di tempat illegal, karena tempat
mereka tidak dilengkapi sekolah, begitu juga dengan anak yang ada di wilayah
kumuh biasanya kualitas sekolahnya sangat buruk.
g. mempunyai
hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum – mengakses tranportasi
umum yang baik untuk semua merupakan hal yang esensial. Untuk memenuhi hak
anak, bagaimana pun transportasi yang aman adalah berjalan kaki, naik sepeda
atau mengakses transportasi yang tidak menghasilkan polusi dan ramah anak.
Prasyarat Mewujudkan KLA
Bertitik dari uraian
penelitian di atas, untuk mewujudkan KLA, bukanlah hal yang mudah dan bukanlah
hal yang sulit. Akan tetapi, ada semacam suatu pra-syarat untuk mencapainya.
Pra-syarat yang dimaksud adalah:
a. Adanya
Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan memaksimalkan
kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anak yang
dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.
b. Baseline
data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk
perencanaan, penyusunan program, pemantauan, dan evaluasi.
c. Sosialisasi
hak anak: menjamin penyadaran hak-hak anak pada anak dan orang dewasa.
d. Produk
hukum yang ramah anak: tersusunnya sedia peraturan perundangan
mempromosikan dan melindungi hak-hak anak.
e. Partisipasi
anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang melibatkan anak
dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka; mendengar pendapat mereka
dan mempertimbangkannya dalam proses pembuatan keputusan.
f. Pemberdayaan
keluarga: adanya program untuk memperkuat kemampuan keluarga dalam
pengasuhan dan perawatan anak.
g. Kemitraan
dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan hak dan
perlindungan anak.
h. Institusi
Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang mengkoordinasikan semua upaya
pemenuhan hak anak.
Mewujudkan KLA
KLA adalah kota yang
menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak:
a. keputusannya
mempengaruhi kotanya;
b. dapat
mengekspresikan pendapatnya mengenai kota yang mereka inginkan;
c. dapat
berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial;
d. dapat
mengakses pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;
e. dapat
mengakses air minum segar dan tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang baik;
f. terlindungi
dari eksploitasi, kekerasan dan penelantaran;
g. merasa
aman berjalan di jalan;
h. dapat
bertemu dan bermain dengan temannya;
i. hidup
di lingkungan yang bebas polusi;
j. berperan
serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan
k. secara
seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa,
agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Kunci sukses untuk
mewujudkan kota layak bagi anak adalah adanya keikhlasan dan ketulusan orang
dewasa mengutamakan kepentingan terbaik anak. Fakta di lapangan menunjukkan,
bahwa anak belum menjadi pertimbagan utama dalam proses penyusunan dan
perencanaan pembangunan. Sehingga, dampak pembangunan kurang optimal untuk
mempersiapkan suatu generasi yang tangguh. Pembangunan bidang pendidikan belum sinkron
dengan pembangunan bidang kebutuhan pasar ketenagakerjaan. Pembangunan bidang
infrastruktur belum menyentuh pada pemenuhan kebutuhan anak dan atau kelompok
yang rentan. Penyediaan infrastruktur perkotaan masih mengabaikan kepentingan
terbaik anak.
Ada dua arus yang
berkembang pada saat kita menyusun dan merancang kota layak bagi anak. Pertama,
harus adanya pengarustamaan hak anakdalam pembangunan. Arus ini menghendaki
seluruh orang dewasa yang ada di setiap pemangku kepentingan (stakeholders)
dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan, sebelum mengambil dan
memutuskan kebijakan, perlu mengajukan pertanyaan “Apakah sudah ada kepentingan
terbaik bagi anak di dalamnya?” Jika belum ada, maka proses tersebut perlu
ditinjau ulang, sehingga diketemukan adanya ‘kepentingan terbaik bagi anak’.
Hal ini tidak sederhana, namun upaya untuk mewujudkannya, harus menjadi
pertimbangan utama.
Kedua, pihak yang
mengetahui ‘kepentingan terbaik anak’ adalah anak. Upaya yang perlu ditempuh
untuk menggali kebutuhan adalah melalui partisipasi anak. Hal ini didasarkan
pada pemikiran, bahwa yang paling tahu dan paham kepentingan anak adalah anak
itu sendiri. Untuk itu, para pemangku kepentingan di bidang anak, berkomunikasi
secara efektif dengan anak untuk menggali kebutuhan anak. Sehingga pada saat
pengambilan keputusan sesuai dengan kepentingan anak.
Kemitraan dan Partisipasi
Untuk mewujudkan ‘KLA’
perlu diperkokoh kemitraan pemerintah dengan para pelaku lain yang akan
memberikan kontribusi yang unik. Selain itu melalui kemitraan dan partisipasi
ini akan mendorong pemanfaatan segala jalur partisipasi untuk mensejahterahkan
dan meningkatkan perlindungan hak anak.
Kemitraan yang terbangun
dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling
mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Kemitraan ini menurut the
International Union of Local Authorites membentuk suatu lingkaran projek dengan
proses perencanaan dan pelaksanaan melalui fase. Fase yang dimaksud seperti
terlihat pada gambar berikut:
Selanjutnya adalah
pembagian peran apa yang dapat dilakukan oleh setiap individu dan institusi
yang ada di perkotaan untuk mewujudkan KLA. Peran yang dimaksud harus sesuai
dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau
institusi. Peran dari para pihak ini perlu dipertegas, seperti uraian berikut:
a. Pemerintah -
Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional
dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga melakukan
koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA.
b. Asosiasi
Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia - APKSI/APEKSI sebagai
jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis untuk wadah
bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk memperkuat pelaksanaan
KLA di masing-masing kabupaten/kota.
c. Pemerintah
Kabupaten/Kota - Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam membuat
kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi,
pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan KLA.
d. Organisasi
Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan - Organisasi Non Pemerintah
dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam menggerakkan
masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.
e. Sektor
Swasta dan Dunia Usaha - Sektor swasta dan dunia usaha merupakan kelompok
potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan yang bersumber
dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung terwujudnya KLA.
f. Lembaga
Internasional - Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi
dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya KLA.
g. Komuniti
(Masyarakat) - Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan pelaksanaan,
monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan masukan berupa informasi
yang obyektif dalam proses monitoring dan evaluasi.
h. Keluarga -
Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan pengasuhan, perawatan,
bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
i. Anak –
anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi peran dan tanggung
jawab sebagai agen perubah.
Inisiatif KLA
Inisiatif KLA ini telah
diadaptasi oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia.
Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di 5 kabupaten/kota, yaitu Kota Jambi di
Provinsi Jambi, Kota Surakarta (Solo) di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten
Sidoarjo di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi
Kalimantan Timur, dan terakhir Kabupaten Gorontalo di Provinsi Gorontalo.
Sedangkan pada tahun 2007 ditunjuk 10 kabupaten/kota, yaitu Aceh Besar
(Nanggroe Aceh Darussalam), Kabupaten OKI (Sumatera Selatan), Kota Padang
(Sumatera Barat), Lampung Selatan (Lampung), Kabupaten Karawang (Jawa Barat),
Kabupaten Sragen (Jawa Tengah), Kota Malang (Jawa Timur), Kota Pontianak
(Kalimantan Barat), Kota Manado (Sulawesi Utara), dan Kota Kupang (Nusa
Tenggara Timur).
Selain itu atas inisiatif
Pemda sendiri KLA telah diperkenalkan di Kota Bandung, Kabupaten Kuningan, Kota
Bogor, Kota Yogyakarta dan Kota Banjar. KLA juga diinisiasi di Kota Semarang
dan Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa Tengah atas dukungan NGO Internasional
(CCF).
Catatan Akhir
Kata kunci dalam proses
mewujudkan KLA adalah ketulusan dan keikhlasan orang dewasa menerima kehadiran
anak di tiap proses pembangunan kota dan pemberian kesempatan oleh orang dewasa
kepada mereka.
Menurut Almarhum Dr.
Mansour Fakih, bahwa “Pembangunan dan perubahan sosial belum meletakkan anak
sebagai subyek, atau paling tidak memperhitungkan anak dalam arah pembangunan.
Yang nyaring terdengar dan banyak tersosialisasi adalah bagaimana membantu
orang dewasa untuk memfasilitasi, menghargai, dan menghormati hak anak.”
Sumber :
http://www.ykai.net/index.php?view=article&id=97%3Akota-layak-anak&option=com_content&Itemid=121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar